Selasa, 30 Mei 2017

Jodoh, bisakah berubah?

Jodoh dalam bahasa arab adalah زوج\زوجة yang berarti suami/istri atau pasangan.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia jodoh berarti orang yang cocok menjadi suami atau istri; pasangan hidup sesuatu yang cocok sehingga menjadi sepasang; pasangan.  Adapun menurut (agama) Islam adalah pasangan (laki-laki dan perempuan) yang telah ditetapkan atau disahkan dalam ikatan pernikahan.

Allah menciptakan segala sesuatunya berdasarkan sunnatullah dengan berpasang-pasangan, tidak terkecuali terhadap manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Allah Swt. Berfirman,

وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.
Bahwa berpasang-pasangan sudah menjadi pola hidup yang ditetapkan Allah Swt. sebagai sarana untuk mempertahankan spesies serta mempertahankan hidup bagi manusia. Ia juga membekali masing-masing pasangan dengan peran dan tugasnya masing-masing, sehingga dapat terwujudnya tujuan yang diinginkan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 dan surat an-Nisa’ ayat 1.

Allah menghendaki agar manusia berlaku sesuai ajaran Islam, tidak mengumbar nafsu secara bebas, tanpa aturan, dan tanpa ikatan. Allah menetapkan manusia dengan fitrah mulia manusia, terjaga harga diri dan kehormatan manusia.
Jodoh merupakan ketentuan dari Allah, sebagaimana hadis yang berbunyi:

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ   ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ  أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

Dari hadist ini bisa diketahui bahwa Allah memberika ketentuan (taqdir) kepada manusia setelah ditiupkannya ruh dan menetapkan empat hal, yaitu: rizki, ajal, amal, bahagia dan celaka. Dari sini bisa di simpulkan bahwa jodoh juga termasuk ketetapan yang dibuat oleh Allah Swt. Akan tetapi kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah takdir berkaitan jodoh tersebut bisa diubah?Sebelum menjawab pertanyaan tentu harus diperjelas bahwa jodoh merupakan taqdir, karena dalam hadist di atas tidak menyatakan secara langsung bahwa jodoh merupakan ketentuan Allah.

Taqdir adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Taqdir merupakan masdar dari kata qaddara yang berarti menghargai, menentukan, mengukur dengan yang lain, membandingkan, menduga, mengira dan seterusnya. Menurut Prof. Ahmad Zahro taqdir berarti kira-kira, maksudnya bahwa segala sesuatu yang belum terjadi, tidak hanya mengenai mati, rizki, dan jodoh, itu merupakan taqdir. Dengan demikian jodoh merupakan salah satu ketentuan Allah (taqdir).

Sebagai jawaban dari perntanyaan diatas, penulis mempunyai argumen berkaitan dengan jodoh bahwasanya: Pertama, jodoh merupakan ketetapan dari Tuhan, akan tetapi tidak mutlak, artinya bahwa jodoh ketika ditentukan tidak ditulis secara langsung siapa yang menjadi jodoh kita kelak. Jodoh adalah janji tuhan dan sunnatullah yang mana menjelaskan bahwa hakikat manusia adalah pasti berpasangan (laki-laki dan perempuan). Kedua, jodoh merupakan hasil ikhtiyar manusia yang kemudian diserahkan kepada Allah (tawakkal). Manusia tidak bisa menentukan jodohnya, akan tetapi bisa mengusahakannya dan pada akhirnya semua kembali kepada Tuhan yang maha menentukan.

Argumen penulis di atas berdasarkan firman Allah sebagai berikut:

يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan
menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (Q.S. ar-Ra’d (13) ayat 39).

.... إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ ١١



“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. ar-Ra’d (13) ayat 11

Berbeda dengan pendapat di atas, bahwa segala sesuatu yang belum terjadi semuanya tidaklah pasti. Maksudnya, bahwa taqdir yang dimaksud masih berupa kira-kira.  Kadar kepastiannya bukan pada kepastian angka atau nama. Misalnya, seorang sebut saja namanya Bunga, ditaqdirkan mempunyai umur 50-100, itulah yang dinamakan taqdir. Jadi si Bunga bisa jadi meninggal diumur 50 atau diumur 100, tergantung amal dan doa dari yang berkaitan. Hal ini berlaku bagi seluruh taqdir. Begitupun jodoh, si Bunga tadi misalnya juga ditakdirkan akan berpasangan dengan Paijo, Sujiwo, Sarmono dan seterusnya dan hal itu berlaku tingkatan yang paling baik dan yang paling buruk. Bisa jadi si Bunga mendapatkan Paijo yang baik, ganteng dan seterusnya, namun bisa juga berpasangan dengan Sarmono yang serba pas-pasan. Semua itu tergantung usaha si Bunga, dan doanya. Namun setiap orang punya taqdir (kadar) yang berbeda-beda, hal itu sudah ketentuan Allah. Begitulah kira-kira. (Pendapat terakhir diperoleh dari kuliah Prof. Ahmad Zahro)

Pendapat yang telah dikemukakan di atas tidak berarti menyalahkan beberapa pendapat yang terdahulu. tulisan ini merupakan sedikit dari hasil pemikiran penulis, bisa benar bisa juga salah. 


Wallahu a'lam

Sabtu, 27 Mei 2017

Ikhlas

Bagi seorang muslim, bulan ramadhan merupakan bulan dalam berlomba-lomba meraih sebanyak-banyaknya pahala. Tawaran Allah di bulan yang suci ini begitu menarik, tak ayal umat muslim berbondong-bondong bahkan berebut pahala yang ditawarkan. Masjid pun ramai, begitu juga riuh lantunan al-Qur'an berkumandang dari setiap sudut. Tak hanya itu, konten hiburan yang biasanya hanya menawarkan kesenangan, keindahan duniawi dan sebagainya berubah "alim" begitu memasuki bulan ramadhan. Pun status-status di media sosial mendadak lebih santun dan agamis.

Namun demikian dalam berlomba-lomba meraih pahala hendaknya dilakukan secara continue, tidak hanya di bulan ramadhan. Selain itu ibadah yang dilakukan tidak boleh hanya menjadi hiasan atau kebutuhan upload semata. Perbuatan semacam itu justru menjadikan ibadah yang sudah dilakukan menjadi sia-sia.

Selain itu dibutuhkan juga keikhlasan dalam setiap melakukan ibadah. Dimana ikhlas menjadi sangat krusial dalam menentukan diterima atau tidaknya ibadah kita.

Ikhlas sebagaimana yang dimaksud, dalam tasawuf terdapat tiga tingkatan. Pertama, seseorang melakukan ibadah dengan tujuan mencari duniawi. Misalnya, seseorang melakukan shalat dhuha agar diberikan kelancaran rizki dan seterusnya. Kedua, sesorang beribadah karena mengharapkan surga. Kedua tingkatan ikhlas tersebut bukan berarti salah, namun yang paling mendekati benar adalah tingkatan ikhlas yang terakhir, beribadah karena semata-mata mengharap ridha Allah. Apakah beribadah dengan mengharap sesuatu selain ridha Allah tidak diperbolehkan?

Tentu saja boleh, meminta rizki, panjang umur, jodoh dan sebangainya merupakan salah satu perintah Allah. "Ud'uunii astajib lakum", disitu jelas sekali. Namun hal itu bukanlah tujuan utama ketika kita beribadah.

Biarlah Allah yang menilai ibadah kita, bukan berdasarkan banyaknya "like" atau banjirnya komentar. Bahwa tak ada kenikmatan dunia apapun yang mengalahkan kenikmatan yang Allah janjikan di hari kelak. Imbalan di dunia tak ada apa-apanya dibanding imbalan yang ditawarkan-Nya kelak.

Marhaban yaa Ramadhan
Semoga kita senantiasa diberikan kelancaran dan istiqomah dalam beribadah
Aamiin

Sabtu, 06 Mei 2017

Kamu

Kau tau bedanya sepi dan rindu

Sepi itu kamu

Aku itu rindu


Ya, sepi bisa disembuhkan oleh siapapun, oleh apapun

Itulah kamu yang menganggapku pengusir sepimu


Tapi rindu, hanya akan semakin dalam, sesak

Hanya kamu yang bisa mengobatinya

Hanya kamu, bukan segala hal tentangmu

Bukan pula sesuatu yang mengingatkan tentangmu

Bukan itu, bukan


Hanya kamu

Selasa, 28 Maret 2017

Bukankah kita hanya manusia?

Menjadi diri sendiri bukanlah hal yang mudah. Bahwa kita bertindak sesuai dengan yang diinginkan/difikirkan, masih mungkin. Tapi bagaimana mungkin tindakan maupun pikiran kita tidak terpengaruh dengan hal-hal di luar dari diri kita, hampir mustahil. Tapi yang paling tidak pantas adalah bertindak dengan mempertimbangkan balasan, atau bahkan membalas tindakan dengan pertimbangan orang lain pernah memberikan "sesuatu" kepada kita.

Seringkali kita memberikan "sesuatu" kepada orang lain dengan mempertanyakan dahulu siapa yang akan kita beri, dari mana ia berasal atau bahkan berpikir tentang keuntungan apa yang akan kita peroleh darinya.

Memberilah tanpa mengharap
Mengharaplah tanpa meminta
Memintalah tanpa memaksa

Bahwa Tuhanlah yang Maha Segalanya

Rabu, 22 Februari 2017

Tak perlu takut, jalanmu telah ditulis...
Hanya saja kita tak tau kapan dan bagaimana...

Tak perlu terburu-buru...
Manusia terkadang terlalu cepat menilai....

Cukup melangkah...
Dan kita akan tahu...
Tuhanlah yang punya ketetapan itu...

Sabtu, 04 Februari 2017

Akhlak

Kondisi semakin memburuk belakangan ini, Indonesia kita tak lagi ramah. "Senggol bacok", persoalan sepele saja sekarang ini bisa menjadi sangat rumit, membuat rumit penegak dan pelaku hukum. Sebut saja beberapa kasus yang viral saat ini, Ahok sampai Habib Rizieq. Lagi-lagi bangsa kita lupa dengan nasehat-nasehat leluhurnya. Hari ini kita sedang di ajarkan cara berdemokrasi dengan term "benar/salah".

Memang hal itu tidak sepenuhnya salah, akan tetapi kalau kita lihat beberapa kasus yang ada, "hukum" menjadi sebuah senjata untuk menusuk lawannya. Persoalan kekuasaan, penghapusan jejak, dan sebagainya menjadi penyebabnya.

Produk-produk hukum kita memang masih dalam upaya perbaikan terus-menerus, memang masih banyak kelonggaran yang bisa dimanfaatkan beberapa oknum yang pintar mencari celah.

Tapi menurut hemat saya bukan itu masalahnya. Benar memang masih banyak kekurangan2an disana-sini.

Perilaku-lah yang seharusnya lebih ditekankan. Bukan lagi mencari cara untuk menjatuhkan musuh. Perilaku-perilaku leluhur kita yang pemaaf, nerimo ing pandum dll sepertinya sudah terlupakan. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan memang membutakan. Semboyan Jokowi tentang revolusi mental sepertinya hanya menjadi penghias kampanye belaka. Bahkan hari ini kita mengalami kemunduran.

Agama kita, khususnya Islam sebenarnya sudah menjelaskan bagaimana seharusnya seseorang berbuat, berbicara ataupun bertindak. Agama yang terdiri dari akidah, syariah, dan akhlak sebenarnya sudah bisa menjawab bagaimana idealnya sesorang berlaku di dunia ini.

Agama memang mengajarkan tentang halal dan haram, tapi juga mengajarkan keyakinan, terpuji dan tercela, amar ma'ruf (memerintah dengan arif/bijaksana) dan sebagainya. Kita lupa dengan bangunan agama yang paling penting, yaitu akhlak. Tanpa akhlak hampir mustahil umat islam menjadi besar seperti saat ini. Nabi Muhammad tidak hanya menegaskan keasaan Tuhan, haramnya kedzaliman, akan tetapi Beliau mengutamakan akhlak baik dalam perilakunya maupun perkataannya.

Mari kita mulai dari diri kita,,,

Jumat, 28 Oktober 2016

Kurma Pembawa Petaka

Sebuah kisah tentang zuhud dan wara'nya seorang hamba Allah bernama Ibrahim bin Adham, suatu ketika setelah melaksanakan haji di tanah haram Ia akan melakukan perjalanan ke Masjid al-Aqsa di Palestina. Untuk bekal dalam perjalanannya Ia pun membeli satu kilo buah kurma dari pedagang tua di tanah haram tersebut.

Setelah kurma tersebut usai dibungkus dan akan dibawanya pergi, Ia pun melihat sebuah kurma yang jatuh di sekitar kios tempat Ia membeli kurma dan mengambil kurma tersebut lalu memakannnya karena ia mengira kurma tersebut jatuh dari bungkus miliknya. Ia pun kemudian pergi menuju Palestina.

Setelah empat bulan lamanya, Ia pun tiba di masjid al-Aqsa. Dan seperti sebelum-sebelumnya Ia memilih tempat yang biasa ditempatinya di bawah kubah. Lantas Ia berdoa dengan khusyu'. Tiba-tiba Ia pun mendengarkan percakapan dua malaikat yang sedang membicarakannya.

"Itu Ibrahim bin Adham, seorang zuhud dan wara', yang doanya selalu dikabulkan Allah", kata salah satu malaikat.

Satunya lagi menyahut, "Tapi sekarang tidak lagi, doanya tidak lagi diterima karena beberapa bulan lalu ia memakan sebuah kurma yang bukan miliknya."

Mendengar percakapan dua malaikat tersebut, Ibrahim pun terkejut dan menyadari bahwa selama empat bulan ini doa dan seluruh ibadahnya tidak diterima hanya karena memakan kurma yang bukan haknya. "Astaghfirullah," gumamnya.

Ia pun bergegas kembali ke Makkah meminta ke-halal-an kurma yang telah ia makan.

Sesampainya di sana, ia langsung menuju kios tempat penjual kurma yang pernah ia beli beberapa bulan yang lalu. Tapi di sana Ia hanya menemukan sosok pemuda yang menjual kurma. Kemudian Ibrahim bertanya, "Dimanakah kakek tua yang dulu menjual kurma?". Pemuda lalu menjawab, "Dia sudah meninggal satu bulan yang lalu".

"Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un", Ibrahim pun kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada pemuda penjual kurma. Lantas ia berkata, "Kepada siapakah saya harus meminta kehalalan kurma yang telah saya makan?". Pemuda menjawab, "Saya adalah ahli waris kakek tua tersebut, insyaallah saya halalkan dengan apa yang telah engkau makan. Akan tetapi ada sebelas ahli waris lagi, saya tidak bisa mengatasnamakan mereka karena mereka mempunya hak yang sama dengan saya sebagai ahli waris."

"Bolehkan saya meminta alamat saudara-saudaramu tersebut?, saya akan mendatanginya satu-persatu." pintanya. Ia pun mendatangi satu-persatu ahli waris dari kakek penjual kurma untuk meminta kehalalan kurma yang Ia makan.

Setelah mendapatkan kehalalan dari semua ahli waris kakek tersebut, Ia kemudian kembali ke Palestina. Dan di masjid al-Aqsa ia berdoa kepada Allah. Lagi-lagi ia mendengarkan percakapan dua malaikat.

"Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak karena makan kurma milik orang lain." Kata salah satu malaikat.

Satunya lagi berkata, "Sudah tidak lagi, sekarang doanya sudah dikabulkan oleh Allah SWT karena Ia telah mendapat penghalalan dari seluruh ahli waris penjual kurma tersebut. Sekarang pun ia telah suci dan bersih seperti sedia kala."

Maha Suci Allah, dari kisah tersebut setidaknya kita bisa mengambil sebuah pelajaran.

_______________________

Dewasa ini isu yang marak adalah PUNGLI. Banyak sekali oknum-oknum yang mengatasnamakan rakyat, para pekerja yang digaji uang rakyat, dan di tempat-tempat yang bertuhankan uang.

Halal sejatinya bukan hanya makanan yang dimakan, karena halal haruslah mencakup dua unsur yakni halal dzatnya dan halal cara memperolehnya.

Semoga kita tetap menuhankan Tuhan yang pantas di-Tuhan-kan. Aamiin.

Tebuireng, 28 oktober 2016.
Khutbah jum'at, Gus Fahmi Amrullah.