Senin, 28 Maret 2016

Hamba

Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Sukses? Bahagia? Kemudian apakah lantas kesuksesan membawa kita kepada kebahagiaan? Untuk apa sebenarnya kita hidup?

Entahlah bagaimana harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Begitu banyak kata motivasi yang mendorong kita untuk menjadi orang yang sukses. Sukses sukses dan sukses. Kita terus-terusan dicekoki kata itu. Dua suku kata dan enam huruf itu S U K S E S. Ya materi. Materi adalah sukses. Sukses adalah bergelimpangan materi. Tapi tidak juga, bagi sebagian orang sukses bukan berarti bertumpu pada materi tapi meraih kerja keras yang sudah dilakukan. Menjadi seseorang yang dicita-citakan. Menjadi seseorang yang membanggakan, dibanggakan orang tua, bangsa ataupun negara. 

Manusia sering kali lupa untuk apa mereka hidup, untuk apa mereka "mampir minum". Tuhan sesungguhnya sudah memberikan clue kepada kita melalui kalimat lugas yang dianjurkan ketika kita tertimpa musibah, simpel. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un. Kita terkadang lupa bahwa kehidupan yang sebenarnya bukanlah di tempat yang fana ini, "mampir minum" istilahnya. Bayangkan betapa hidup kita begitu cepat sebenarnya. Puluhan tahun yang kita habiskan disini hanya diibaratkan dengan dua kata itu. 

Tapi tidak sesimpel itu juga, rumit. Begitu rumit bahkan. Hidup tak semudah kita minum. Bahkan minum pun kita harus bayar bahkan, di sebagian daerah malah harus bayar untuk mendapatkan air bersih. Padahal bumi dan seisinya adalah milik kita, milik manusia dan makhluq lainnya. Hampir tidak ada yang gratis di dunia ini. Maka rahmatlah yang membuat kita bisa hidup, bisa menikmati keindahan ciptaan-Nya. 

Saya ingat ada hadist yang mengatakan bahwasanya ketika seseorang meninggal maka ada tiga hal yang tidak akan terputus. Shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholih. Ketiga hal itu lagi-lagi tidak bisa kita dapatkan dengan cuma-cuma. Ketiganya membutuhkan materi, ya lagi-lagi materi. Sulit sekali memang manusia tanpa materi, walaupun bisa tapi sangat sulit. Bayangkan pendidikan di Indonesia, hampir tidak ada yang gratis. Walaupun untuk mendapatkan ilmu tidak harus dengan sekolah. Tapi harus diakui materi akan mempermudah seseorang untuk mencari ilmu, ilmu yang bisa memberikan manfaat bagi orang di sekitar kita, bagi orang lain. 

Hari ini kebanyakan dari kita termasuk saya, sudah kehilangan orientasi hidup. Tujuan hidup yang seharusnya terus kita pegang dan kita perjuangkan. Kita disibukkan kepada urusan-urusan yang bersifat sementara, yang membuat kita lupa, lupa dengan tujuan utama kita. Lupa bahwa akan ada kehidupan yang selanjutnya. 

Semoga kita tetap pada tujuan yang seharusnya, bukan tujuan yang seinginnya atau semaunya. Tak peduli seperti apa kita saat ini, menjadi apa kita saat ini. Yang pasti tujuan utama yang seharusnya, tidak boleh kita abaikan. Prioritas utama hidup kita. 

Sebagai seseorang yang mempunyai cita-cita kita tidak boleh lantas berkecil hati dan kemudian membiarkannya hanya menjadi mimpi. Kita tetap harus mengejarnya, kita harus berusaha mewujudkannya, tetapi dengan tidak meninggalkan apa yang menjadi tujuan hidup kita. Tujuan utama sebagai hamba. 

Minggu, 20 Maret 2016

Religiusitas tanpa Spiritualitas


Bangsa Indonesia sejak lama sudah terkenal dengan bangsa yang religius, bangsa yang sangat taat dengan ritual-ritual keagamaannya. Bangsa dengan Ke-Tuhanan Yang Maha Esanya. Kereligiusan masyarakatnya jelas tidak bisa diragukan lagi, Terbukti dengan selalu penuh dan sesaknya masjid-masjid ketika shalat jum'at tiba, jamaah haji yang terus menumpuk setiap tahunnya hingga harus menunggu bertahun-tahun lamanya untuk bisa menunaikan rukun yang ke-limanya itu.

Tapi sekilas agama sepertinya hanya menjadi rutinitas formal di lingkungan kita. Betapa tidak, melihat begitu besarnya ghirrah dalam melakukan ibadah tapi belum diimbangi dengan spiritual yang mumpuni. korupsi di mana-mana, maksiat di mana-mana, penipuan merajalela dan banyak lagi yang lainnya. Hal itu menunjukkan spirit beragama hanya diperuntukkan sebagai penggugur kewajiban saja. Sepertinya mereka lupa, agama bukanlah aplikasi dari hablun minallah tapi lebih dari itu agama sebagai jawaban dari setiap pertanyaan yang ada di benak makhluk-Nya. Hablun minannas serta hablun minal 'alam nampaknya hanya menjadi slogan tak bernyawa. 

Tak heran Nabi kita SAW diutus selain untuk menyampaikan firman-firmanNya tapi lebih dari itu Nabi mempunyai tugas berat untuk menyempurnakan akhlak. Sosok yang harusnya menjadi panutan dan idola bagi seluruh umat-umatnya. Bukan malah menganut mereka yang hanya mencari eksistensi. Mereka lupa, kita lupa tugas yang dibebankan kepada manusia, khalifatullah fil ardh.

Agama seperti terbelah menjadi dua, sisi pertama merupakan inti dari agama itu sendiri terletak sangat dalam tidak nampak, seperti hati pada manusia, spiritualitas. Sedangkan yang kedua merupakan tampilan yang terletak di bagian paling luar, religiusitas, sesuatu yang hanya terlihat. Keduanya sebenarnya harus menjadi satu kesatuan yang harusnya bisa beriringan, berdampingan.


Berperilaku baik saja tidak cukup, begitu sebaliknya. Ritual keagamaan yang terus dilakukan akan menjadi percuma ketika tidak dibarengi dengan perbuatan baik kepada sesama, alam dan makhluk lainnya. Karena perbuatan tercela akan menghapus pahala. Menghapus ritual agama yang susah payah kita kerjakan.


Semoga kita menjadi manusia yang senantiasa dekat dengan Tuhan, tanpa melupakan senyum kepada orang di sekeliling kita. Semoga!



terinspirasi dari tulisan K.H. Salahuddin Wahid, Berguru pada Realitas. Semoga Bermanfaat. Wallahu a'lam

Rabu, 16 Maret 2016

Terburu-buru


"Tak ku sangka". Itulah kalimat yang mewakili hari esok. Kita tak pernah tau dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, layaknya sebuah film dengan twist-twist tak terduganya.

Ya kita memang sedang memerankan salah satu karakter seorang pemeran bak di layar kaca, pilihannya adalah mau karakter protagonis, antagonis atau cuma menjadi pemeran pembantu saja. Dan kita harus memilih peran.

Seandainya Sang Penulis sekenario hanya memperbolehkan peran protagonis saja  misalnya, bisa kita bayangkan betapa hidup ini begitu tak bernyawa. Begitu itu-itu saja. Tak akan ada benar-salah, baik dan buruk. Mungkin itulah yang akan terjadi.

Nyatanya sekenario yang dibuat Empunya begitu rumit, begitu tak terduga. Layaknya jawaban dari doa-doa yang manusia panjatkan kepada Tuhannya, tak terduga. Seandainya Tuhan pasti menjawab doa sesuai apa yang diminta, pastilah rumah-rumah Tuhan penuh dan sesak. Kenapa lantas Tuhan begitu? Wallahu a'lam, Tuhanlah Sang Maha, Maha dari seluruh Maha yang ada. Tuhanlah yang membuat sekenarionya. Tuhanlah yang tau apa yang sebenarnya diminta hamba-Nya.

Manusia begitu terburu-buru, terlalu cepat menilai.

Selasa, 15 Maret 2016

Kembali Pulang


Berawal dari sebuah harapan, harapan untuk kembali pada tujuan. Tujuan hidup yang selama ini lenyap, lenyap dilahap oleh dunia yang menawarkan angan, menawarkan segala sesuatunya dengan instan, menawarkan hiburan yang tak pernah bisa membosankan. Dunia digital hari ini memang membuat orang menjadi klepekan dan lupa dengan kebahagiaan kehadiran, kehadiran alam semesta dan para tuannya.


Hari itu cerah dan menyengat, biasanya becek dan basah. Mengosongkan jok belakang dan mulai bergegas dengan tujuan lari dari basah, basahnya guyuran hujan yang setiap hari membekas, becek. Apa daya mesin buatan orang tak mampu mengalahkan datangnya hujan padahal langit siang itu tak menunjukkan tanda sedikitpun, begitu cerah dan menawan. Apa boleh buat kemeja biru laut yang kupakai menjadi basah.



Tak lama kemudian tiba di suatu tempat sederhana walau sempit tapi masih cukup untuk berteduh menghindari keroyokan air yang tak hentinya menyerang. Dan mulai menunggu. Tak lama hujan tak lagi keroyokan dan akhirnya memutuskan untuk berhenti perang. Hujan kadang memang menyebalkan tapi bagi sebagian orang hujan adalah anugerah nyata dari Tuhan.



Dan bergegas lagi, dan lagi-lagi hujan. Kali ini aku memilih untuk mengabaikannya. Walaupun sempat terlintas penyesalan ketika tadi lebih memilih berteduh dan harusnya sekarang sudah bisa sampai tujuan. Begitulah kita, terkadang memang lebih memilih diam ketimbang bergegas melawan rintangan. Toh sesulit apapun kita melewatinya pada akhirnya kita semakin mendekat pada tujuan. Begitulah Tuhan membuat alur.



Sampai di tempat tujuan. Mulai mencari tempat ideal bertemu Tuhan melalui perantara orang yang tidak diragukan lagi kesalehannya. Bukan berarti Tuhan tak mengabulkan doa orang seperti kita. Bukan berarti juga kita meminta kepada mereka yang telah mendahului kita. Mereka hanyalah perantara (wasilah) karena kita tahu bahwa kita tak begitu dekat dengan Sang Pencipta.



Berziarah adalah salah satu cara berdialog dengan-Nya sekaligus cara ampuh untuk mengingat-Nya. Mengingat kematian yang sewaktu-waktu bisa menghampiri nyawa kita. Seseorang yang mungkin lupa keberadaanya di dunia hanya sementara. Hanya mampir untuk seteguk air saja.

Seseorang selalu punya cara masing-masing untuk bisa kembali pulang. Pulang ke rumah yang bernama tujuan. Tujuan hidup yang seringkali terabaikan oleh keadaan. Keadaan yang memaksa seseorang untuk terus terlelap.



Selamat, kamu kembali pulang...

Apa yang membuat kalian pulang?

Bola Mata

Aku bingung harus bagaimana memulai tulsan ini, entahlah. Harus dimulai dari mana. Lembaran demi lembaran kisah dalam memori  mulai ku korek satu per-satu. Tapi sudahlah toh kenapa kita harus mengorek sejarah yang kata Dee[1] adalah seperti awan yang tampak padat berisi tetapi ketika disentuh menjadi embun. Aku mulai berhenti mengetik, yaa karena aku melihat ada kata ganjil dalam tulisanku itu. Kata “Aq” aku yang ditulis Aq yang seharusnya aku tulis “Aku”, tanpa panjang lebar Aqpun, eh aku mengganti kata yang biasa aku tulis lewat telepon pintar. Ya itu mungkin akibat kehidupan yang lebih menarik di dunia yang tidak nyata yang menawarkan sesuatu yang tidak bisa kita miliki seutuhnya. Ya sesuatu yang kemudian hanya bisa kita angankan, dunia maya.
Tidak tau kenapa keinginanku untuk menulis pagi itu sangat besar. Entahlah, yang pasti aku ingin kata perkata yang keluar takkan pernah putus layaknya harapanku untuk menemukan seseorang yang belum pernah nyata itu terwujud. Yaa aku hanyalah seorang mahasiswa semester dua belas yang terus saja mencari pembenaran untuk terus mengulur-ulur waktu kelulusannya.
Pagi itu, ketika raga ini merasakan kehadirannya kembali merasa bahwa aku masih bisa merasakan ketegangan tubuh keseluruhannya. Molet pun tak pernah absen dari rutinitas yang hampir aku ulang-ulang setiap hari selama hampir duapuluh lima tahun. Berarti sudah 9000 kali aku melakukan rutinitas itu. Ya itupun belum ditambah molet-molet ketika tidur siang. Anggap saja sepuluh ribu biar genap.
Rutinitas yang seharusnya bisa ku lewatkan dengan ringan dan harusnya di luar kepala, tapi lagi-lagi tubuh ini seperti tidak mau mengingat bagaimana ia harus cepat bergegas meninggalkan alas empuknya, dan mulai berjalan mengambil air dan segera  menjalankan rutinitas sebagai manusia yang ber-Tuhan.
Pagi itu aku sadar bahwa ada bola yang sangat berat, iyaa sangat berat sampai kita tidak kuat mengangkatnya langsung. Perlu latihan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun untuk bisa mengangkatnya dengan mudah. Bak seorang atlet angkat besi yang mengangkat bebannya dan harus terus mencoba, karena harus mengumpulkan seluruh tenaga luar dalamnya dan mulai mengangkatnya pelan. Kedua bola mata ini kedengarannya lebih ringan dibandingkan beban atlet tersebut tapi tidak pada kenyataannya. Dan tak seorangpun yang bisa menyanggahnya.
Kupaksa bola mata itu untuk mulai menyambut matahari dan merasakan dinginnya air yang ku ambil ketika mulai bergegas ke kamar mandi yang tidak begitu jauh dari kamar kosku. Hari itu rasanya begitu berbeda dari hari-hari biasanya. Hari yang penuh dengan harapan, harapan untuk menjadi manusia seutuhnya (being human), manusia yang dilahirkan tidak hanya untuk melakukan rutinitas mengangkat besi setiap pagi. Manusia yang berbeda seperti dua puluh empat tahun sebelumnya. Manusia yang begitu apatis dengan kebutuhan tubuhnya, kebutuhan untuk menikmati dan mensyukuri nikmat tak terhingga dari Tuhannya. Manusia yang harusnya mencintai Tuhan dan seluruh ciptaanNya.
Hingga pada satu titik ketika harapan itu mulai menunjukkan porosnya ketika ia memulai dengan kata per-kata, kalimat per-kalimat dan paragraf per-paragraf. Ya pagi itu menjadi saksi bangkitnya seorang yang telah mendambakan genggaman seorang yang ada dalam angannya. Seorang yang hampir dua puluh lima tahun dicarinya. Ya hari ini adalah awan yang menjadi embun itu.






[1]Seorang penulis yang sebelumnya adalah seorang penyanyi, pencipta novel Supernova yang menggetarkan dunia sastra